Ratusan Korban Terorisme Belum Ajukan Bantuan Medis dan Kompensasi

1 month ago 7
ARTICLE AD BOX
Berdasarkan data yang dimiliki Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada periode 2020-2021 baru 572 korban yang menerima bantuan dengan total nilai kompensasi lebih dari Rp 113 miliar.

Wakil Ketua LPSK Mahyudin, mengatakan secara keseluruhan terdapat 785 korban terorisme masa lalu, baik berdasarkan keputusan pengadilan maupun di luar putusan pengadilan. Khusus untuk korban Bom Bali 1 dan 2, sebanyak 129 orang telah menerima kompensasi.

Baru-baru ini, lanjut Mahyudin, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi mengenai batasan jangka waktu pengajuan permohonan bantuan medis, psikologis, psikososial, dan kompensasi bagi korban Tindak Pidana (TP) Terorisme masa lalu. Putusan ini mendorong LPSK dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk segera melakukan langkah-langkah strategis, termasuk sosialisasi, guna menjangkau para korban yang belum mengajukan permohonan.

Mahyudin menjelaskan bahwa setelah putusan MK tersebut, LPSK dan BNPT memiliki waktu hingga 2028 untuk menjangkau seluruh korban terorisme masa lalu yang belum mengajukan bantuan. Periode ini mencakup korban terorisme pada 2018-2021, sesuai mandat UU No 5 Tahun 2018. “Batasan jangka waktu yang cukup singkat menyebabkan masih ada korban yang belum mengajukan haknya,” ujar Mahyudin saat acara Ngobrol Sambil Ngopi (Ngopi) di Kuta, Badung pada Jumat (11/10) pagi.

Masih menurut Mahyudin, korban-korban terorisme merasa hak mereka seharusnya disetarakan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa ‘Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan’. Keterlambatan pengajuan permohonan bantuan ini juga dipengaruhi oleh lambatnya penerbitan peraturan pelaksana. Peraturan Pemerintah (PP) No 35 Tahun 2020, yang menjadi dasar hukum untuk proses penetapan korban dan kompensasi baru mulai berlaku pada 2020. Dengan demikian, sosialisasi, penetapan korban, dan perhitungan kompensasi efektif hanya berjalan selama satu tahun, sebelum waktu pengajuan bantuan berakhir. “Efektif hanya tersedia waktu satu tahun untuk melakukan sosialisasi, penetapan korban, perhitungan dan penetapan kompensasi,” tuturnya.

Sementara itu, Direktur Perlindungan BNPT Imam Margono mengatakan, jika BNPT dan LPSK bergerak cepat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperpanjang batas waktu perlindungan bagi korban terorisme masa lalu. Dia menegaskan bahwa korban terorisme wajib mendapatkan perlindungan dari negara. “Pelaksanaan perlindungan ini dilakukan oleh BNPT dan LPSK sesuai dengan aturan yang ada,” kata Imam.

Sebelumnya, aturan yang berlaku hanya memberikan jangka waktu tiga tahun untuk mengidentifikasi dan memberikan bantuan kepada penyintas terorisme. Namun, karena keterbatasan waktu, banyak penyintas yang belum berhasil diidentifikasi dan menerima bantuan. “Karena singkatnya waktu, belum semua penyintas berhasil diidentifikasi dan mendapatkan bantuan. Setelah uji materil dikabulkan MK, BNPT dan LPSK langsung bergerak,” jelasnya.
Pada Kamis (29/8) lalu, Imam mengatakan kalau MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian uji materiil terkait Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Pasal tersebut sebelumnya menetapkan batas waktu tiga tahun untuk pengajuan permohonan bantuan. Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, mahkamah menilai bahwa frasa ‘3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku’ adalah inkonstitusional secara bersyarat. Akibatnya, batasan jangka waktu tersebut diperpanjang menjadi 10 tahun sejak UU No 5 Tahun 2018 mulai berlaku.

Perpanjangan ini memungkinkan BNPT dan LPSK untuk lebih efektif menjangkau korban terorisme yang belum teridentifikasi dan belum mendapatkan haknya. Perpanjangan waktu ini juga memberikan kesempatan yang lebih luas bagi korban terorisme untuk mengajukan permohonan bantuan medis, psikologis, dan kompensasi yang mereka butuhkan. 7 ol3
Read Entire Article