Sempat 'Lupa Diri' saat Dinas di Luar Bali, Pensiunan Polisi Ini Kini Jadi Pemangku

1 month ago 7
ARTICLE AD BOX
Kini, pria kelahiran Banjar Dangin Marga, Desa Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo, Jembrana ini adalah Jero Mangku untuk dua pura di tempat domisilinya, Perumahan Pondok Intan Asri, Banjar Aseman, Desa Sedang, Kecamatan Abiansemal, Badung. Ia bertanggung jawab atas Pura Jagatnatha dan Pura Taman Beji yang berada di perumahan itu.

Melalui musyawarah mufakat pengurus perumahan, Nengah didapuk menjadi pemangku Pura Jagatnatha. Ia di-ekajati sekitar tahun 2013 setelah pensiun dari Polri. Kemudian, karena panggilan hati dan dirasa Pura Taman Beji juga memerlukan pemangku, Nengah akhirnya didapuk memangku kegiatan keagamaan di dua pura itu.

Siapa sangka pensiunan polisi ini kini melanjutkan sisa hidupnya di jalan spiritual. Tampak kontras jika dibandingkan ketika ia berdinas di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta. Nengah sempat terperosok ke titik nadir spiritualitasnya. Ia pernah lupa diri, tidak ingat anak istri dan keluarga, sampai suatu ketika leluhur 'memanggilnya' kembali.

Pria yang akrab disapa 'Pak Ngah' oleh penghuni perumahan setempat ini meniti karier sebagai anggota Polri sejak tahun 1976. Kala itu, Polri masih Angkatan Kepolisian di tubuh Angkatan Bersenjata RI (ABRI). Nengah masuk Angkatan Kepolisian sebagai Tamtama usai lulus sekolah militer di Lombok, NTB.

"Tamtama, saya jadi Brimob berdinas di Bali sebentar. Setelah itu, pindah ke Mabes di Jakarta sebagai polisi umum mengikuti Kepala Biro Personalia (SDM) Polda Bali saat itu. Saya dinas di Jakarta sekitar 20 tahun, sampai 1996," beber Nengah kepada NusaBali.com, ditemui di Pura Taman Beji Pondok Intan Asri, Jumat (11/10/2024).

Pura Taman Beji Pondok Intan Asri. -NGURAH RATNADI

Kala berdinas di Jakarta inilah Nengah jauh dari keluarga baik secara fisik maupun spiritual. Ia bahkan merasa pernah lupa diri, tidak ingat dunia, sampai melupakan keluarga dan kerabatnya di rumah. Nengah mengaku, fisiknya sehat tapi merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam dirinya.

Ia sempat dalam observasi psikiater sampai suatu saat di mana sesuatu dalam dirinya itu memuncak. "Fisik saya sehat, sadar, karena kalau tidak, tidak mungkin bisa bekerja ke kantor. Cuman kok merasa ingin pulang. Kalau kumat, katanya, saya terus bilang ingin pulang," imbuh Nengah.


Ayah dua putra ini merasa ia memang sudah waktunya pulang kepada
leluhurnya di kampung halaman. Sebab, kala itu, memang tidak ada
siapa-siapa di kampungnya kecuali kerabat yang sudah renta. Sedangkan,
parahyangan keluarga di kampungnya juga terkesan terbengkalai.

Tahun
1996, Nengah pindah tugas ke Bali. Sampai di Bali, hal pertama yang ia
lakukan adalah membenahi merajan gede (pura dadia). Di Bali, Nengah
mengaku tidak pernah berobat lagi dan hanya berniat memberikan sesuatu
kepada leluhur dengan memperbaiki dadia.

Sembari menunaikan
kewajiban kepada leluhur, Nengah kembali berdinas di Polda Bali. Ia
sudah jadi perwira pertama (Pama) berpangkat setara Inspektur Polisi Dua
(Ipda) setelah lulus Sekolah Calon Perwira (Secapa) tahun 1994. Kembali
berdinas di Bali, ia tinggal di Asrama Brimob Tohpati, Denpasar.

"Tapi
asrama itu lantas diratakan untuk dibangun bertingkat. Saya dan
keluarga kemudian pindah ke Pondok Intan Asri (saat itu untuk Kompleks
Perumahan Polri) setelah ada serah terima bangunan sekitar tahun 2004,"
beber Nengah yang menetap di perumahan di Desa Sedang, Abiansemal itu
sampai pensiun Januari 2012 hingga sekarang.

Setelah pensiun,
Nengah nyatanya tidak lepas dari jalan hidup yang sudah digariskan. Baru
saja jadi Pama pensiunan Biro Logistik Polda Bali, ia tiba-tiba dicari
para pengurus perumahan. "Dicari pengurus ke rumah, 'Harus Pak Nengah di
sini ngayah.' Waduh, baru saja pensiun, maunya tenang dan santai dulu,"
ungkapnya.

Sebelumnya, ketika kembali ke Bali dan membenahi
merajah gede di kampung, Nengah memang sudah mawinten (upacara penyucian
diri) untuk jadi pemangku khusus di dadia-nya itu. Tapi, ia tidak aktif
menjalankan kapemangkuan itu lantaran masih berdinas di Denpasar.

Tidak
jadi pemangku di kampung kelahirannya, takdir Nengah itu mencarinya ke
perantauan. Ia sempat menolak halus namun akhirnya diyakinkan oleh
putranya. Walhasil, ia ditahbiskan sebagai pemangku parahyangan
Perumahan Pondok Intan Asri, Pura Jagatnatha, dalam sebuah upacara
ekajati oleh sulinggih.

"Saya bukan orang pintar, tidak tahu
apa-apa tapi saya berupaya menjalani amanah ini dengan baik. Sekarang,
baik Pura Jagatnatha di mana saya ditahbiskan dan juga Pura Taman Beji
sudah saya anggap seperti merajan saya sendiri," ucap Mangku Nengah.

Selain
jadi pemangku di dua pura ini, Mangku Nengah juga pernah dibujuk mantan
Kepala SMAN 2 Abiansemal untuk menjadi pemangku di sekolah. Kebetulan,
sekolah ini berlokasi tidak jauh dari perumahan dan akses menuju sekolah
juga melewati rumahnya di Jalan Bija, Pondok Intan Asri, Desa Sedang.

"Empat
tahun saya jadi pemangku di SMAN 2 Abiansemal karena dibujuk Bapak Made
Kupasada. Pas beliau pensiun, tahun lalu kalau tidak salah, saya bilang
undur diri juga karena sudah tidak kuat naik turun mabanten di
sekolah," kata Mangku Nengah.

Sudah lebih satu dekade Mangku
Nengah mengabdi di parahyangan Perumahan Pondok Intan Asri, ia tidak
hanya mengelola aktivitas keagamaan reguler. Mangku Nengah juga melayani
umat untuk melukat dan pengobatan non medis di Pura Taman Beji yang
dikenal memiliki mata air suci.

Pura Taman Beji sendiri dikenal
dengan anugerah penyembuhan dan dermawan mengabulkan doa umat. Mangku
Nengah bahkan pernah didatangi seorang wanita yang sedang sakit parah
usai mendapat petunjuk dari sosok tua di malam hari yang memintanya
datang ke Pura Taman Beji di Desa Sedang yang pemangkunya bernama Nengah
Sandra.

Meski sudah sedekade lebih jadi tetua Hindu khususnya
bagi umat sedharma di Perumahan Pondok Intan Asri dan umat yang
berkunjung ke Pura Taman Beji, Mangku Nengah tetap berilmu padi. Ia
menegaskan, tetaplah manusia biasa, tidak luput dari kesalahan, dan
hanyalah perantara antara Ida Bhatara-Bhatari dan umat. *rat
Read Entire Article